Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan
terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan saling jatuh
cinta. Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau
Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara
kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu
hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan
langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud itu mendapat
tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin
bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana
terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri
kebingungan. Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We
Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi
jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama benar
dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina,
We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di
sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan,
akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai yang
tunangannya, Settiaponga sudah lebih dahulu dikalahkan, dalam suatu
pertempuran di tangah laut dalam perjalanan menuju ke Cina. Mereka hidup
rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya I We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.
Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung,
kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai ingin
berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah
dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika
hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi
menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan
cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut
serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap
keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan
bahwa keturunan dewa- dewa yang ada di bumi harus segera kembali
kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya
masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke
Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di
sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya
sebagai raja peretiwi. Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang
kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya
dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya
pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi
leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim
utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar